Kangen Setengah Mati by Wandra
**
kelap kelip lintang ono reng awang awang
ngengetaken isun rikolo ambi riko
semilire angin ono reng wayah bengi
nambahi sepine ati hang lagi dewekan ...2X
reff
duh nelongso rasane ati pengen ketemu tapi seng biso
koyodene mongso ketigo ngarepno banyu udan teko
kangen iki setengah mati mung riko hang biso nambani
sayang saiki riko nong endi wes suwi sun nganten nganteni
**
kelap kelip lintang ono reng awang awang
ngengetaken isun rikolo ambi riko
semilire angin ono reng wayah bengi
nambahi sepine ati hang lagi dewekan ...2X
reff
duh nelongso rasane ati pengen ketemu tapi seng biso
koyodene mongso ketigo ngarepno banyu udan teko
kangen iki setengah mati mung riko hang biso nambani
sayang saiki riko nong endi wes suwi sun nganten nganteni
yue_dae site
Mengulas tentang budaya banyuwangi
Jumat, 24 Januari 2014
Sabtu, 15 Desember 2012
Jumat, 07 Desember 2012
Asal-Usul Reog Ponorogo
Reog
adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian
barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya.
Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok
yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan.
Reog
Ponorogo itu sendiri sebagai ikon budaya kebanggaan Kabupaten Ponorogo.
Tidak ada yang tahu pasti apa arti kata ‘reog’ itu. Ada yang bependapat
bahwa ‘reog’ berasal dari kata Jawa ‘rèyog’, yang terkadang mengalami
repetisi menjadi ‘rèyag-rèyog’. Dalam bahasa Jawa, ‘rèyog’ dan
‘rèyag-rèyog’, berarti sesuatu yang berayun atau bergerak menyamping
bergantian ke setiap sisi.
Hubungan kata ‘rèyog’ dengan Reog Ponorogo, terletak pada gerakan barongan ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan. ‘Dhadhak Mêrak’ berupa kepala macan di bawah seekor burung merak yang sedang mengembangkan keindahan ekornya. Wujud ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan memang sangat atraktif, dengan gerakan yang gesit dan lincah menyambar-nyambar. Nah, dari gerakan ‘Dhadhak Mêrak’ yang meliuk dan menyambar ke sana ke mari itulah kemungkinan nama Reog Ponorogo bermula.
Hubungan kata ‘rèyog’ dengan Reog Ponorogo, terletak pada gerakan barongan ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan. ‘Dhadhak Mêrak’ berupa kepala macan di bawah seekor burung merak yang sedang mengembangkan keindahan ekornya. Wujud ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan memang sangat atraktif, dengan gerakan yang gesit dan lincah menyambar-nyambar. Nah, dari gerakan ‘Dhadhak Mêrak’ yang meliuk dan menyambar ke sana ke mari itulah kemungkinan nama Reog Ponorogo bermula.
Reog biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional.
Seni
Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian
pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani
dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari
ini menggambarkan sosok singa yang pemberani.
Asal Usul Banyuwangi
Pada
zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah
kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan
bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama
Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari
ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden
Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden
Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika
Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di
depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia
terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana
seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak
buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang
menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu
tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya.
“Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu,
sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai.
Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan
seorang gadis cantik jelita.
“Ha?
Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan
setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden
Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia
atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis
itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis
cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan
Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari
serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota
kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang
terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu,
Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak
lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Asal-Usul Angklung Banyuwangi
Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia, terbuat dari Batang Pohon Bambu,
yang dibunyikan dengan cara digoyangkan ( bunyi disebabkan oleh
benturan badan pipa bambu ) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar.
Sejarah Angklung
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung Gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Bahkan di Cirebon, terdapat Angklung Bungko yang dibuat Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, 600 tahun yang lalu.
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut Angklung dan Calung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung ( bambu berwarna hitam ) dan awi temen
( bambu berwarna putih ). Purwa rupa alat musik angklung dan calung
mirip sama; tiap nada ( laras ) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya
yang berbentuk wilahan ( batangan ) setiap ruas bambu dari ukuran kecil
hingga besar, dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap
ukuran, baik besar maupun kecil. Laras ( nada ) alat musik angklung
sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro/ slendro dan
pelog.
Langganan:
Postingan (Atom)